Apa Yang Terjadi Jika Area Hijau Tidak Lagi Ada di Lanskap Kota ?
Pertanyaan ini membuat kita penasaran dan berharap tidak akan pernah terjadi. Perubahan tata guna lahan karena alasan berkembanganya manusia dan pemenuhan segala jenis aktivitasnya, seakan-akan membuat ruang semakin terdesak untuk bertransformasi menjadi lantai beton. Tidak dipungkiri terjadinya urbanisasi, bahkan migrasi menuju kota-kota besar karena faktor kemudahan dalam mencari pekerjaan menjadi alasan mulai berkurangnya area hijau kota. Berbagai pendatang akan menetap secara sementara hingga permanen. Aktivitas menetap ini justru semakin berkembang, bahkan menjadi turun temurun. Membicarakan masalah lanskap dan tata ruang, selalu berhubungan dengan faktor pergerakan (movement), kebiasaan (habit), psikologi manusia sebagai subjek penggunanya (user).
Apa pentingnya ruang hijau kota? sebelum terjadinya pembangunan dengan betonisasinya, segala sesuatunya merupakan proses yang telah berlangsung lama dan telah melibatkan berbagai tipe mahluk hidup. Proses ini telah terjadi aktivitas menetap, membangun komunitas, kemampuan beradaptasi, migrasi, hingga simbiosis antar mahluk hidup. Aktivitas ini makin berkembang dengan kebutuhan yang membentuk rantai makanan didalam ekosistem. Manusia datang dengan pengetahuan dan kebudayaannya, merubah lingkungan yang berkembang secara alami menjadi struktur yang akan melengkapi kebutuhannya. Proses fotosintesis yang maksimal, pemenuhan nutrisi mahluk hidup flora dan fauna tidak lagi seimbang, penyerapan air ke dalam tanah pun akhirnya terganggu karena pembangunan ini.
Peristiwa dan proses pembangunan yang berlangsung lama ini, mengakibatkan perspektif mengenai keberadaan ruang terbuka hijau menjadi tidak lagi sebagai kebutuhan esensial namun berubah ke nilai tambah untuk peningkatan nilai jual properti. Hal ini menimbulkan pemahaman area hijau kota menjadi sesuatu yang berlandaskan kepentingan ekonomi, sehingga kemungkinan nilai ekologi juga menjadi melemah. Kebutuhan area hijau kota menjadi desakan karena cepatnya pembangunan, sehingga ruang terbuka hijau dinyatakan sebagai suatu yang vital karena mempengaruhi segala aktivitas manusia di lingkungan perkotaan. Ruang terbuka hijau diatur didalm pasal 1 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yaitu didefinisikan sebagai area memanjang/ jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada pasal 29 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat, dimana proporsi ruang terbuka hijau kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota, sedangkan proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.
Kebutuhan dan aktivitas yang serba cepat menuntut pada pengendalian terhadap pergerakan, bermukim, hingga emisi. Bermukim tidak hanya sekedar tinggal di dalamnya, tapi juga membentuk komunitas dan berkembang secara turun-temurun. Aktivitas bermukim bertransformasi tidak hanya ingin mendapatkan kebutuhan sosial sampai dengan peradaban, namun juga mengarah pada kualitas hidup dengan udara yang menyegarkan, suara burung dan air yang membuat ketenangan, terik matahari yang tidak terlalu panas, dan sebagainya. Kesadaran ini seharusnya dapat membentuk tindakan kepedulian kembali mengenai menjaga dan melestarikan lingkungan dan segala komponennya.
Area hijau nyatanya tidak hanya menjadi tempat yang bernilai alami, namun telah terjadi segala bentuk aktivitas yang saling bersinggungan antara elemen buatan/artifisial dan alami. Terganggunya proses alami yang telah berlangsung dalam waktu yang lama, mengakibatkan ketidakstabilan ekosistem sekitar. Adapun ruang terbuka non hijau adalah ruang terbuka di bagian wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air (Permen PU no. 12/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau di Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan). Kondisi ini sudah membentuk serangkaian proses yang saling melengkapi dan memunculkan hubungan sebab-akibat. Invasi aktivitas dan luasan bemukim suatu kelompok tertentu di suatu kawasan berakibat pada kapasitas/daya tampung dari area hijau kota. Penentuan kebutuhan area hijau telah diatur ke dalam standar yang disesuaikan dengan masing-masing luasan teritorinya yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Comments
Post a Comment