Kualitas udara di Jakarta sedang dalam kondisi memburuk terlihat seperti berkabut yang diakibatkan oleh polusi, akhirnya memaksa setiap penilai-penilai lingkungan mengeluarkan hasil data pantauannya agar semakin memperjelas kualitas udara yang ada. Polusi di perkotaan, biasanya diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor, aktivitas pabrik dari pinggiran pusat kota, pembakaran sampah yang dilakukan sembarangan, dan sebagainya. Mengingat urbanisasi dan sentralisasi aktivitas bekerja terjadi di pusat kota Jakarta. Permukiman dengan gagasan dapat menampung sebagian warga yang melakukan perpindahan ke ibu kota Jakarta dan pinggirannya justru membebani dengan menggantikan lahan-lahan hijau yang seharusnya menjadi suplai oksigen (O2) untuk beraktivitas. Konversi lahan untuk kebutuhan komersialisasi dan perindustrian menggantikan ekosistem dengan segala simbiosis dan rantai makanannya. Serangga yang seharusnya menjadi bio-indicator menjadi susah ditemukan, bahkan menghilang. Hal ini sudah tentu memberikan pernyataan yang tegas bahwa lingkungan kita di Jakarta dan sekitarnya sedang tidak baik-baik saja.
Kontroversi mengenai penyebab terjadinya polusi di Jakarta akhir-akhir ini, menjadi blunder dari kebijakan pemerintah yang menyasar pada solusi instan yang tidak mendasar, salah satunya seperti gencar mengkampanyekan penggantian ke kendaraan listrik. Apabila terlalu menyasar hanya pada membludaknya volume kendaraan bermotor sangat tidak bijak, tidak pada konteks yang sebenarnya untuk memberikan solusi pada inti permasalahan di Jakarta. Terlepas dari urusan politik, seharusnya konversi ke kendaraan listrik bukan menyasar ke kendaraan pribadi, namun seharusnya mengarah ke pemaksimalan penggunaan transportasi umum.
Transportasi umum saat ini dari pinggiran/Jabodetabek hingga ke pusat kota Jakarta harus secara benar terhubung satu sama lain. Kondisi transportasi umum saat ini hanya terkonsentrasi pada pusat kota saja. Kebanyakan dari mereka masih tinggal di pinggiran Jakarta dan bekerja di sekitar pusat kota. Transportasi umum harus dibiasakan pada keseluruhan masyarakat se-Jabodetabek, apalagi dengan kendaraan umum konversi ke kendaraan listrik itu akan lebih baik. Sampai akhirnya munculah kelas sosial di masyarakat, ketika seseorang menggunakan transportasi umum seperti KRL yang sangat padat di jam-jam sibuk menandakan kelas sosial yang rendah. Nyatanya, sudah banyak juga pengguna yang terang-terangan tidak malu untuk menggunakan transportasi umum dan justru mengkampanyekannya. permasalahannya juga tidak sampai disini, alih-alih berhemat, justru perhitungan dengan kendaraan pribadi malah jauh lebih murah dibandingkan kendaraan umum. Ditambah dengan waktu tempuh yang cenderung lama, sehingga memaksa orang untuk berangkat lebih pagi. Kondisi ini menjadikan energi untuk bekerja sudah terkuras karena habis waktu dijalan, hingga berdesak-desakan, sentralisasi tempat kerja di pusat kota juga menjadi masalah lanjutannya.
Kelanjutan akses dari area pinggiran Jakarta ke pusat kota sangat terbatas, masyarakat terbantu dengan keberdaan ojek online, namun harganya semakin tidak berimbang. Mereka pun akhirnya kesulitan mengakses, sehingga tetap menggunakan kendaraan pribadi masing-masing karena dirasa lebih hemat ongkos perjalanan. Kemudahan dari segi akses, pelayanan yang tepat, hingga penyesuaian harga menjadi hal yang penting untuk membuat kebijakan yang benar-benar bijak dan tidak memihak. Kondisi ini mendesak realisasi integrasi antar ruang dan alat untuk mengaksesnya harus benar-benar menguntungkan dari segi fisik dan non-fisik, hingga aspek sosial dan ekonomi harus terukur dan saling beririsan.
---------------------------------------------------------------------xxxxx
Permasalahan polusi ini sebenarnya telah berlangsung lama, hanya saja efeknya terasa sangat spontan akhir-akhir ini, ditambah beberapa hari tidak adanya hujan turun di langit Jakarta. Apalagi dengan isu bahwa PLTU di sekitar Jabodetabek sebagai penyebab utama polusi, namun ditepis oleh pemerintah dan KLHK dengan memberikan pernyataan yang berujung tetap menyalahkan para pengendara bermotor dan kendaraannya. 3 PLTU yang beroperasi di sekitar Jabodetabek, yakni PLTU Suryalaya, PLTU Banten, dan PLTU Lontar. Emisi karbon ketiga PLTU itu sudah sangat rendah, telah sesuai ketentuan Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia No 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi. Diinformasikan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, bahwa ketiga PLTU tersebut juga menerapkan teknologi Low NOx Burner yang dapat menekan polusi NO2 sangat rendah, di bawah ambang batas ditetapkan Kementerian LHK. (sumber: https://www.liputan6.com/bisnis/read/5372024/polusi-udara-jakarta-bukan-gara-gara-pltu-ini-buktinya)
Kondisi di atas memang akan menguji seberapa jeli kebijakan dapat mempengaruhi kehidupan dan keberhasilan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan pun tidak dapat dilakukan dengan cara yang instan, namun harus melalui grand design masterplan rencana dan rancang kota yang komprehensif dan terintegrasi dengan bijak dan terukur. Antar profesi dengan asosiasinya harus melakukan kerjasama yang diinisiasi oleh pemerintah melalui kolaborasi antar segala stakeholder terkait.
Kondisi kualitas di sekitar Jakarta dalam status tidak baik/tidak sehat (sumber:
Peta kualitas udara di Jakarta | IQAir). Skala yang digunakan menggunakan
Indeks Kualitas Udara atau Air Quality Index (AQI), yang mana berperan sebagai tanda peringatan akan polusi udara yang ikut terhirup sehari-hari, selanjutnya akan dilakukan langkah pencegahan atau mitigasi. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) membuat sebuah ukuran yang disebut Indeks Kualitas Udara atau Air Quality Index (AQI). Berbentuk skala 0-500, AQI menggambarkan konsentrasi polusi udara di satu daerah. AQI US ditunjukan dengan sistem skoring/nilai, yang diantaranya : (1) Baik 0-50; (2) Sedang 51-100; (3) Tidak sehat bagi kelompok sensitif 101-150; (4) Tidak sehat 151-200; (5) Sangat Tidak Sehat 201-300; dan (6) Berbahaya 301+. Kondisi ini sebenarnya harus dicermati oleh pembuat kebijakan terutama untuk pemerintah kota dan provinsi di Jakarta dan sekitarnya, bukan menakuti bahkan sekedar membuat solusi praktis.
Pemberitaan di berbagai platform media telah menjadikan Jakarta dengan predikat tidak layak? bagi siapa? Mereka yang telah hidup dan bermukim sepanjang tahun telah merasakan transformasi ruang kota yang signifikan dan perubahan tata guna lahan yang ekstrem. Keseluruhannya karena kebutuhan manusia untuk hidup dan beraktivitas yang semakin mendesak perekayasaan lahan dan mengubahnya menjadi bangunan-bangunan. Hakikatnya apapun yang kita ubah pada lahan dengan daya resapan dengan kapasitas tertentu, seharusnya juga dapat membantu dalam ketahanan pangan dan suplai oksigen (O2), justru kita sengaja melupakan konsep ini. Membangun tanpa memikirkan dampak serapan air tanah, laju runoff, pembuangan limbah, hingga kebutuhan untuk bernapas. Mereka melupakan fungsi dari udara, memang sesuatu yang tidak bisa kita lihat bahkan merabanya, namun dapat memberi kehidupan. Selain itu, fungsi ketersediaan air, air yang tercemar tentu tidak dapat dimanfaatkan untuk kehidupan dan mendukung berbagai aktivitas.
Dilansir dari Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta dan Polusi Udara di Indonesia | IQAir, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya telah tercemar, akumulasi dari berbagai polusi telah mencapai puncak, mengakibatkan dampak bagi kesehatan.
transportasi masih menjadi penyumbang terbesar masalah kualitas udara di DKI Jakarta, baik dari minyak bumi maupun gas. Sektor transportasi menjadi penyumbang polusi udara pertama, yakni 44 persen. Lalu diikuti dengan sektor industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen. Selain transportasi, penyumbang polusi udara di DKI Jakarta adalah penggunaan batu bara. Penggunaan batu bara menimbulkan adanya emisi Sulfur Dioksida (SO2). Hasil kajian menunjukkan, emisi pencemaran Sulfur Dioksida dengan total 4.257 ton per tahun. Sumber utamanya adalah dari sektor industri manufaktur sebesar 61,9 persen. Ditambah dengan kondisi kemarau di bulan Juli hingga September sebagai titik kondisi kemarau sedang mencapai tingkat yang tinggi, sehingga memang berakibat pada polusi udara yang kurang baik (sumber : Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "5 Fakta Permasalahan Polusi Udara Jakarta", https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/12/113000165/5-fakta-permasalahan-polusi-udara-jakarta.).
Kita memahami bahwa tanaman merupakan mahluk hidup yang membantu manusia mengakomodir seluruh aktivitasnya dengan menyediakan persediaan oksigen dan air untuk sekitarnya. Tanaman juga berguna untuk mendinginkan suhu udara, mengurangi efek sinar ultraviolet, serta melembabkan udara sekitarnya. Indonesia dengan iklim tropisnya, sudah sepatutnya untuk memperbanyak ruang terbuka hijau namun kebutuhan dasar untuk bertempat tinggal juga menjadi keharusan yang seharusnya dapat disinergikan dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Jika kebijakan mengharuskan pengaturan ruang akan berdampak pada peruntukan tata guna lahan, maka sebenarnya kewajiban untuk menyediakan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau yang dimaksud harus mampu mendukung luasan area yang mendapatkan pembangunan.
Ruang terbuka hijau akan dibagi menjadi beberapa syarat sesuai dengan peruntukan yang menyebabkan menurunnya kualitas resapan dan suplai oksigen (O2) untuk mengakomodir kebutuhan aktivitas atas pembangunan di sekitarnya. Hal yang harus dipahami sebagai dasar pemahaman bahwa fungsi ruang terbuka hijau (RTH) harus menjadi kebutuhan utama, tidak hanya terbatas pada peraturan 30% area luasan. Penggunaan RTH harus dimaksimalkan, bukan hanya sebatas penghias semata, yang mana kategori syarat tersebut diantaranya :
1. Presentase luasan bangunan atas hilangnya area resapan harus sama dengan (=) pengganti area resapan yang direncanakan,
2. Penggantian area resapan/ laju air ke dalam tanah (infiltrasi) harus memiliki kecepatan yang minimal sama dengan (=) dari jatuhnya air ke permukaan tanah, sehingga meminimalisir tingkat genangan (Laju Infiltrasi dinyatakan dengan satuan panjang per waktu : cm menit-1
,
cm jam-1 , cm hari-1),
sumber : Landon (1984). Booker Tropical Soil Manual
3. RTH sebagai wadah/unit/area yang mengakomodir kebutuhan penanaman dengan tingkat kebutuhan suplai O2 yang dipersyaratkan, yang mana dipengaruhi oleh luas penampang daun, kemampuan tanaman dalam menjerap CO2 dan karbon lainnya, hingga kemampuan tanaman dalam proses fotosintesis. RTH dimaknai sebagai unit yang diperhitungkan, bukan sebagai pelengkap. Adapun terkait dengan peraturan perundang-undangan, ruang terbuka hijau (RTH) merupakan area
memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara
alamiah maupun yang sengaja di tanam. Hal ini
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan
Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 yang secara khusus
mengamanatkan paling sedikit 30% dari proporsi
luasan dari luar wilayah kota disediakan untuk RTH. Persentase ini sudah tidak relevan dengan kapasitas penghasil polusi yang berasal dari aktivitas industri/pabrik/PLTU dan sebagainya, kendaraan bermotor, hingga populasi yang tinggal pada luasan tertentu, serta kebutuhan O2 untuk aktivitas bernapas untuk sejumlah populasi.
4. Kondisi yang mengharuskan mengetahui struktur pembentuk tanah dan kepadatan tanah pada RTH tersebut, yang berdampak dalam rekomendasi perekayasaan saluran drainase dan resapan. Hal ini dimaksudkan bertanggung jawab atas kebutuhan air tanah, juga tidak mengganggu kebutuhan air tanah di luar perimeter area rencana. Rencana pengelolaan air untuk kebutuhan aktivitas sehari-hari dan air buangan harus memiliki manajemen yang jelas dan terpadu.
Status air tanah juga harus diketahui untuk dapat menjelaskan bagaimana treatment tanah selanjutnya baik pasca pengembangan kawasan maupun pembangunan unit bangunan. Memang akan terlalu rumit untuk perencanaan RTh dalam skala rumah tangga ataupun lingkungan permukiman. Hal ini mendasari bahwa suatu grand design penataan ruang kota harus memiliki keterkaitan antar skala. Antar profesi sebaiknya tidak mendominasi, namun bekerja sama menghasilkan rumusan RTH yang berkesinambungan, sehingga terbentuk suatu
"Urban Green Trail", yang mana juga akan mendukung jalur keanekaragaman hayati (
biodiversity trail).
Catatan :
Status potensial pada Kapasitas Lapangan sering dipakai pF 2,5 atau 1/3 atm,
namun untuk daerah tropis disarankan pF 1,0 - 2,0 atau 0,01 – 0,1 atm.
Kembali pada pemahaman keberadaan dan fungsi penanaman yaitu mengingat bahwa proses fotosintesis adalah
pengikatan gas karbondioksida (CO2) dari udara dan molekul air (H2O) dari tanah. Proses ini berlangsung dengan
bantuan energi foton cahaya tampak, akan membentuk gula heksosa (C6H12O6) dan gas
oksigen (O2) sebagai berikut :
6 CO2 + 6 H2O → C6H12O6 + 6 O2. Kemampuan tumbuhan dalam mereduksi karbondioksida berbeda-beda. Banyak
faktor yang memengaruhi tanaman memiliki daya serap karbondioksida sehingga
menyebabkan perbedaan kemampuan tanaman sebagai tanaman/pohon penyerap
karbondioksida. Diantaranya ditentukan oleh mutu klorofil. Mutu klorofil ditentukan
berdasarkan banyak sedikitnya magnesium yang menjadi inti klorofil. Semakin besar tingkat
magnesium, daun akan berwarna hijau gelap. Daya serap karbondioksida sebuah pohon juga
ditentukan oleh luas keseluruhan daun, umur daun, dan fase pertumbuhan tanaman. Selain
itu, Pohon-pohon yang berbunga dan berbuah memiliki kemampuan fotosintesis yang lebih
tinggi sehingga mampu sebagai penyerap karbondioksida yang lebih tinggi yang tentunya
akan lebih baik. Faktor lainnya yang ikut menentukan daya serap karbondioksida adalah
suhu, dan sinar matahari, dan ketersediaan air.
proses ini sangat kompleks dan harus mampu dipahami oleh sebagian besar perencana kota dan lanskap untuk menghadirkan tanaman, yang mana tidak hanya sebagai fungsi estetik saja. Namun menjadikan keberadaannya dapat dipahami sebagai pengurai polusi dan penghasil suplai oksigen yang berguna untuk membantu manusia dalam beraktifitas. Juga ruang beraktivitas yang dirancang harus mampu membaca tantangan yang dihadapi sekitarnya, misalnya tentang kurangnya air tanah sekitar, erosi tanah yang membahayakan, mengurangi polusi, menciptakan iklim mikro.
Perencanaan sistem tata kelola transportasi yang terintegrasi serta beberapa kantong RTH dengan karakter tanaman yang disesuaikan dengan tingkat polusi sekitarnya. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai meeting point di setiap intersection dan pemberhentian stasiun atau terminal sabagai bentuk integrated transportation hub. Perlu ada kajian yang komprehensif mengenai penindaklanjutan indikasi tingkat polusi untuk per bagian area dalam satu kawasan besar, misalnya tiap skala kecamatan. Nantinya akan didapat upaya pengendalian dan pemilihan penanaman sesuai dengan kondisi sekitarnya per kecamatan. Penanaman akhirnya dapat berfungsi maksimal, fungsi ekologi pun tidak hanya sekedar slogan semata.
Terkait dengan Indeks Hijau Biru Indonesia (IHBI), kualitas RTH perlu dioptimalkan dalam berbagai skala. Kualitas yang dikembangkan bukan diartikan dengan seberapa luas RTH dengan segala program aktivitasnya. Kualitas RTH juga harus berkaitan dengan seberapa besar peranan area RTH tersebut memiliki dampak ekologi yang dinilai dan distandarisasikan. Standarisasi ini harus konsisten dan sesuai konteks setempat. Keberadaan RTH akhirnya secara nyata sebagai suatu arahan yang dapat diimplementasikan secara berkala sampai mendapatkan hasil yang memenuhi ambang batas minimal area tersebut dapat mengcover seberapa luas area disekitarnya terkait dengan kebutuhan air, suplai oksigen, mencegah polusi, sebagai habitat satwa, mempengaruhi serangga untuk bisa hadir sebagai bio-indicator.
Pemenuhan luasan RTH bukan sebagai hiasan kota atau sekedar mencapai 30% luasan. Apalagi tiap-tiap ruang didalam suatu kawasan atau kota memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Kita tidak bisa mengatakan pada kawasan pabrik/industri harus memiliki luasan optimal 30%. pada area pabrik/industri harus terlebih dahulu memenuhi kriteria ambang batas polutan, jenis polutan, hingga cara membuangnya yang mereka dapat hasilkan dalm setipa hari, minggu, bulan, hingga tahunan. Tentunya penanganan dan fungsi tanaman dalam RTH akan lebih diprioritaskan untuk serapan CO2 atau polutan berat. Hal lainnya seperti penanganan koridor hijau kota pada area perkantoran, perumahan, hingga hanya untuk memenuhi koridor hijau wisata kota akan memiliki kedudukan yang berbeda-beda. Kondisi ini tergantung pada seberapa banyak pengguna mengakses, seberapa sering tiap jamnya kendaraan akan melintas, seberapa besar aktivitas berkumpul dan dimana saja titik berkumpulnya, sampai dengan seberapa aktif aktivitas yang dilakukan, maka seharusnya penanganan pemilihan jenis tanaman akan berbeda-beda. Pemilihan ini akan berdampak pada angka indeks yang diperkenankan jadi sudah dapat disimulasikan di awal, sehingga tujuan pemerintah Jakarta dan sekitarnya untuk mengkampanyekan "Kota Bebas Polusi", Compact City, hingga Green City dapat dinilai secara utuh dan tujuannya akan semakin jelas.
Di jakarta dan di Indonesia pada umumnya, kita tentunya mengenal bahwa standar kualitas lingkungan akan berdampak pada kesehatan jasmani dan kesehatan finansial. Kita tidak bisa memisahkannya satu per satu, keseluruhanya merupakan hubungan sebab-akibat, tidak selalu hanya sebatas kampanye jargon. Membangun suatu fasilitas publik dengan RTH-nya harus diperhatikan dampak negatif dan positifnya. RTH sebagai taman kota dengan berbagai eleman hardscape dan softscape pembentuknya akan menarik perhatian orang (pengguna/user) untuk berkumpul dan beraktivitas, akan ada dampak ketika lebih banyak kendaraan yang akan datang dan parkir, serta pengguna lainnya akan muncul, misalnya pedagang. Hal-hal ini harus menjadi perhatian perencana, pemerintah, dan stakeholder lainnya. Di Jakarta, tidak bisa kita dengan mudah mengusirnya atau meniadakan parkir karena fasilitas transportasi tidak menjangkau dengan merata. Kondisi seharusnya menjadi titik balik merancang suatu mastermind blue print yang benar-benar mengintegrasikan antara transportasi publik, mengategorikan tiap area pada masing-masing koridor dan kawasan khusus, positioning dan keberdaan fasilitas penunjang, hingga ruang terbuka hijau dan publik. Kondisi ini juga tidak hanya di pusat kota, namun juga dapat terakses dari penggiran kota.
Beberapa konsep Compact Unit Area perlu dirancang agar pemerataan dapat terealisasi. Seperti halnya kawasan mix-use dan perkantoran dengan tata kelola hijau dan birunya harus mampu menjadikannya biodiversity trail. Sebenarnya pembangunan yang kita lakukan sampai dengan hari ini, memaksa habitat dan kemampuan beradaptasi satwa yang mungkin dulu menjadi jalur migrasi atau rute jelajahnya. Pengembalian perilaku simbiosis harus dimunculkan, tidak hanya antar pengguna, namun juga dengan satwa seperti burung dan serangga sebagai bio-indicator area sekitarnya.
Dari kualitas yang buruk di Jakarta akhir-akhir ini, kita belajar untuk lebih menyayangi lingkungan untuk hidup dan aktivitas kita sehari-hari dengan tidak mencemarinya. Sebaiknya hentikan kebijakan yang memihak, ditambah justru menyalahkan pihak lainnya dengan sengaja memunculkan kebijakan instan dan terburu buru. Pengendalian polusi, seperti uji emisi, seharusnya tidak perlu dimunculkan mengingat seharusnya sudah dilakukan di pabrik pembuatnya. Ditambah ekonomi yang tidak merata yang akhirnya kota hanya untuk "si kaya" saja, sehingga jargon loveable dan liveable city hanya sebatas produk-produk klise kiasan, tidak pernah dengan realisasinya. Pengendalian lainnya, berupa penyemprotan jalan, mungkin membuat agar tidak berdebu, namun hal itu bukan sumber masalahnya. Polusi ada di udara, mereka menyebar cepat. Rancanglah lingkungan dan kota kita dengan Ruang Terbuka Hijau dan Biru dari sekarang, belum ada kata terlambat, begitu pula koneksi yang terintegrasinya. Kolaborasi dengan ahli lintas profesi menjadi penting dan harus segera dilaksanakan, untuk mewujudkan Jakarta, kota-kota disekitarnya, dan Indonesia menjadi lebih baik.
(YKP)
Permasalahan RTH terkait dgn tataruang.....sdh banyak dibahas. Utamanya masalah kuantitas dan kualitas RTH di wilayah/kawasan perkotaan. Padahal RTH merupakan amanat UU Penataan Ruang dan sdh diatur juga di Permen. ATR/K-BPN 2022. Fungsi utama RTH adalah untuk keseimbangan ekositem perkotaan, baik sistem hidrologi, klimatologi, maupun sistem ekologi lain, termasuk kualitas udara, habitat satwa liar dan estetika.
ReplyDeleteRTH dapat berbentuk area (core) atau memanjang (corridor/link). RTH dgn berbagai bentuk diwilayah perkotaan tersebut dapat, membentuk suatu sistem jaringan RTH yg dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau kota (urban green infrastructure atau urban ecological infrastructure).
Dgn kuantitas dan kualitas RTH sesuai amanat UU Penataan Ruang serta jaringan RTH yg berperan sbg infrastruktur hijau diharapkan dapat menciptakan keseimbangan ekosistem kota.