‘Ruang Publik’ yang ‘Menyehatkan’

Oleh Yudha Kartana P.



 Tulisan ini merangkum peristiwa yang ada dikehidupan, secara fisik, dunia maya/cyber, dan di dalam pikiran persepsi dengan membingkar arti ‘ruang’ dengan gaya bahasa yang bebas. Tulisan ini berusaha membuat ruang diskusi yang lebih beragam. Pada kesempatan kali ini akan bercerita tentang ruang dengan segala sudut pandangnya. Ruang merepresentasikan suatu aksistensi dan ragam akivitas di dalamnya karena terbentuk dari buah pikir dan didesain oleh ahli perancang. Keberadaan ruang publik akan sangat tergantung dari penggunanya atau justru perancang yang akan mengarahkan. Ruang dapat didefinisikan secara luas, tergantung dari penerimaan berbagai pihak dengan ragam keilmuan masing-masing.   

Pandemi yang tidak kunjung usai, penyebaran dan korban yang tidak menentu, dan kesimpangsiuran informasi menjadi dilema yang terus menerus menghantui pikiran dan aktivitas fisik bagi semua orang. Telah banyak korban meninggal dunia dan harus kehilangan satu per satu anggota keluarganya, bahkan tenaga medis di rumah sakit pun menjadi korban keganasan virus corona. Di tengah kegelisahan terhadap pandemi, banyak orang telah merasa bosan untuk ‘di rumah saja’, sesuai dengan kampanye pemerintah. Mereka lebih baik bekerja untuk menghidupi keluarganya, daripada pada ketakutan terus menerus terhadap ketidakpastian pandemi ini. 

Pandemi ini terus menerus menyisakan kisah memilukan dari kematian, pemutusan kerja, ditutupnya akses ekonomi lokal dan wisata, hingga perbedaan pendapat yang akhirnya diselesaikan dengan penjara. Negeri ini seperti tidak tahu arah dan terus menerus menutupi keresahannya, ditambah dengan ketidakpastian ekonomi global dan efek dari pandemi Covid-19 ini. Di balik ketidakkonsistenan para elit yang terus menerus mengeluarkan pernyataan yang membabi buta hanya sebatas argumen, sehingga masyarakat semakin kebingungan. Media sosial telah banyak menjadikan kekacauan sosial dan budaya dari sebatas perbedaan pendapat, berpihak atau tidak memihak, sampai dengan picisan murahan dari figur publik untuk ketenarannya. 

Ruang berekspresi menjadi demokrasi yang tidak dapat diukur, justru semakin menindas dan melupakan yang lemah, bahkan para miskin semakin dijadikan konten murahan. Ruang tidak sebatas pada kondisi fisik, namun kemajuan teknologi menjadinkannya bermutasi ke dunia maya. Di lain sisi sangat berguna dan memudahkan setiap orang, lainnya menjadikan kejahatan cyber dengan mudahnya mengambil data pribadi penggunanya. Dunia tidak lagi luas dengan ketidaktahuan, segalanya dapat diakses dengan mudah dengan kata kunci.  

Ruang semakin tidak terbatas, selama semuanya masih bergerak, maka akan terjadi perubahan terus menerus. Komunikasi menjadi hanya sekedar memainkan jari jemari pada perangkat pintar masing-masing. Komunikasi tidak lagi harus bertatap muka, semuanya menatap ke layar. Esensi dari komunikasi sebenarnya akan lebih memperkuat arti tentang kembali lagi menjadi ‘manusia’. Orang dengan mudahnya membanggakan diri dengan memajang foto dengan kekayaannya. Menciptakan kengerian karena iri, sehingga setiap orang akan melakukan segala cara untuk menirunya. Konsep gaya hidup pun mengalami degradasi, dengan tidak seimbang antara pendapatan dan pengeluaran. Di balik ‘bergaya’ tentu akan ada konsekuensi dan resiko yang harus dipertimbangkan, mereka melupakan karena hidup tidak akan ada yang pernah tahu kapan akan berakhir dan bagaimana cara mengakhirinya.  

Kesehatan adalah hak yang dimiliki oleh semua orang, kita dapat beraktivitas untuk selalu menyehatkan jasmani dan rohani. Mental bukan sekedar asesoris pendukung akal dan hati nurani, keseluruhannya bekerja saling melengkapi. Kita bergerak sesuai dengan keinginan dengan atau tanpa merencanakan akan ke arah mana. Hakikat ruang yaitu untuk memenuhi kebutuhan, seseorang akan mencapainya karena keinginan yang kuat. Pencapaian ini bersifat fisik karena membutuhkan jenis aktivitas dan bagaimana kita bergerak untuk mencapainya. 

Selama pandemi, ruang gerak kita menjadi sangat terbatas. Pergerakan yang kita putuskan akan penuhdengan kekhawatiran dan konsekuensi. Semua orang membutuhkan ruang berinteraksi untuk sekedar berdiskusi bertukar pikiran dan hanya sekedar bertegur sapa. Walaupun saat ini beberapa sudah dapat pergi kemana-mana dengan tetap mengikuti protokol kesehatan anjuran pemerintah. Ruang publik seperti pusat perbelanjaan dan ruang-ruang komersil telah ramai dikunjungi, tetapi beberapa taman dan tempat wisata tetap ditutup. Apakah ruang juga ikut ‘tertular’ dan mengalami ‘sakit’? Salahkah jika ruang publik menjadi terkotak-kotakan sesuai dengan kepentingan tertentu ? 

Menelusuri lebih jauh akibat efek pandemi ini, setidaknya beberapa orang telah mendapatkan aktivitas baru di rumahnya masing-masing. Ada yang tetap bekerja di rumah sesuai arahan perusahaan masing-masing yaitu program work from home (WFH), mendalami hobi baru, dan mendapatkan kesempatan berkumpul lama dengan keluarga. Work from home menjadi kebiasaan baru bagi setiap orang karena terdapat informasi yang menyebutkan bahwa virus corona tengah bermutasi dan dapat bertahan lebih lama di udara. Saat ini virus corona menyerah cluster perkantoran yang cenderung pada ruang tertutup. Narasi ini justru sebenarnya mengarahkan banyak orang untuk sudah harus terbiasa dengan ruang publik yang lebih terbuka. Apalagi dengan beraktivitas seperti di taman, terdapat pepohonan dan udara pagi yang segar. Setidaknya hal ini dapat lebih membuka pandangan orang-orang yang masih tetap takut pada virus ini. 

Pikiran kita yang sebenarnya telah terlanjur ‘sakit’. Sakit dalam menerima banyak informasi tanpa menyerapnya satu per satu. Setiap orang sangat dengan mudah beragumen di media sosial dengan perangkat pintarnya. Setiap orang dengan bebasnya menuliskan pikirannya yang subjektif. ‘Mereka’  bebas membenci dan memenjarakan tanpa berani beragumen di dalam meja bundar dengan beradu kepintaran di dalam koridor argumen dengan tidak menyudutkan satu sama lain. Menerima pendapat yang bertentangan dengan pernyataan kita telah menjadi dilema cara berpikir. Seseorang akan berusaha melawannya tanpa mau mendengarkan pendapat lainnya.  

Ruang publik kini lebih bertransformasi menjadi perang para elit, kita tidak diberi kesempatan untuk berdiskusi dan hanya diperbolehkan untuk menontonnya. Ruang publik benar-benar dalam keadaan tidak aman, semuanya mulai dikontrol. Ketika semuanya mulai dikomentari, maka akan muncul suatu penyangkalan dan konfirmasi ulang dengan tetap memaksakan kehendaknya. Publik hanya diarahkan untuk bekerja dan bekerja, tanpa harus memperdulikan sekitar. Mereka akan menganggap kita tidak layak untuk mengutarakan pendapat secara benar.  

Ruang publik menjadi ‘sakit’ karena penggunanya ‘sakit’. ‘Mereka’ tidak pernah berkampanye tentang cara hidup sehat dan ‘menyehatkan’ ruang di sekitar nya, tetapi terus-terusan menyuarakan untuk menghindari yang nyatanya musuh tepat berada di depan kita. Pengalaman ini sungguh nyata di ruang publik, ‘mereka’ tidak benar-benar melindungi kita. Cara mendapatkan simpatik dengan menarasikan ‘ketidakpastian’ menjadi membuat publik semakin liar untuk berkata-kata.  Ruang secara fisik ‘tidak pernah salah’, kita lah yang mengacaukannya, memberinya persepsi dan opini yang mengikat. 

Comments

Popular Posts