RUANG PUBLIK YANG LAYAK ATAU VIRAL ?
Dalam
kesempatan ini, saya tidak menginginkan bahasa scientific untuk menjelaskan suatu opini pada proses merancang di
tatanan area perkotaan. Perkotaan ibaratnya sebuah mesin dengan kendali
perintah dari suatu kebijakan. Kebijakan yang dibentuk tentunya akan melengkapi
segala aspek yang mempengaruhinya. Kebijakan yang terjadi justru memperkaya
‘peninggalan penguasa’ dan berakhir menjadi alat politik. Esensi suatu ruang
publik di lingkungan perkotaan, akhirnya menjadi hasil ‘buah pikir sepihak’.
Keterlibatan masyarakat hanya sebagai sebuah ‘persyaratan tidak berhasil secara
nyata’.
Satu pohon
di suatu area, apalagi telah berdiri dan berkembang lama hingga tahunan, maka
didalamnya telah ada keberadaan ekosistem, telah ada sistem yang bekerja untuk
memberikan ‘rasa nyaman’ terhadap sekitarnya. Ekosistem itu seperti burung,
serangga, sampai dengan lingkungan mikro. Sistem yang bekerja telah secara
nyata mempengaruhi kebutuhan oksigen kita, keteduhan dan terhindar dari panas
dan sinar UV, dan juga kondisi iklim mikro dengan lingkungan yang cenderung
panas karena dekat dengan pesisir.
Berbicara
mengenai ruang publik, tidak terus menerus berbicara tentang manusianya. Alam
secara “seporadis” direkayasa untuk selalu mengikuti keinginan manusia. Ruang
publik itu hanya sebatas mesin kecil untuk menggerakan keseluruhan ‘kehidupan
kota’, tetapi keberadaannya bukan untuk hiasan melainkan melahirkan peradaban.
Peradaban itu sama halnya untuk berlogika menyelesaikan masalah perkotaan agar
kota menjadi layak. Kata ‘layak’ ini sering disamaratakan untuk kebutuhan
manusia saja. Kita lupa manusia akan hidup membutuhkan oksigen. Oksigen yang
dihasilkan dari proses fotosintesis tanamna, dan serangga yang membantu dalam
proses penyerbukan pada bunganya. Oksigen yang mampu membuat orang berpikir
normal dan tidak menghancurkan lingkungannya. Layak itu untuk keseluruhan bukan
bagian dari egoisme menata hal itu semua dengan tujuan ‘indah’. That was close, but that is not the point,
sudah berapa kali manusia itu berkembang dari tahun ke tahun, tingkat
kecerdasannya pun pasti tidak hanya diam di tempat. Kenyataannya, semua argumen
terbaikpun pasti akan kalah karena di tangan siapa hal itu semua dikuasai.
Apakah kita posisi ini terus menerus ? Well, itu terserah kita semua dalam
memaknainya.
Ruang
publik kita berbeda pemaknaan seperti yang terjadi di luar negeri. Tidak banyak
orang memahami esensi dari sebuah modernisasi ruang publik. Hey bro, Kota
Amsterdam pun sudah merobohkan tulisan “I’AMSTERDAM” karena dinilai merugikan
lingkungan karena tujuan nya pun menjadi distorsi dari gagasan awalnya. Tulisan
ini menjadi ikon yang menunjukan semangat dan simbol penting bagi keberagaman
di Amsterdam. Hal ini di Indonesia justru ‘booming’, tidak ada esesnsi yang
kuat mengapa tulisan yang besar-besar itu muncul menghiasi beberapa sudut kota
dan tempat wisata. Kita ternyata jauh dari pemikiran modern karena tidak ‘up to
date’. Foto sana-sini bergaya bak model menjadi trend di kalangan masyarakat
luas, tetapi untuk memungut sampah pun mereka tidak pernah ??? who knows. Pada dasarnya, tidak salah hal itu dilakukan karena
juga menguntungkan wisatawan yang akan datang berkunjung, tetapi sangat lalai dalam
sikap ‘respect’ pada lingkungan.
Banyak
orang hanya berpikir ‘viral’, bentuknya yang minimalis/up to date, mempermudahnya dengan menggantinya dengan perkerasan
(yang artinya simple, praktis, dan merusak) pada keseluruhan ruang publik
dengan mengikuti tren di luar negeri. Bagaimana tanggungjawab atas air yang
seharusnya meresap ke dalam tanah, akhirnya terhalang oleh betonisasi
perkerasan. Keseluruhannya harus diperhitungkan secara matang sebagai langkah
pertanggungjawaban kepada alam.
Banyak
yang rekan senang dan bergembira menyambut hal ‘baik’ ini. Saya tidak antusias
ketika suatu pembangunan justru menghilangkan esensi dari keberadaan ruang publik
seharusnya, dengan hanya mementingkan ‘viral’. Pada perancangan seharusnya
tidak menggantinya dengan masalah baru. Kita memahami Tegal sebagai daerah
pesisir yang pasti memiliki iklim mikro yang terik/panas, UV berbahaya bagi
kulit, pemilihan bench (tempat duduk) pun saya melihatnya dari bahan metal.
Pertanyaan paling mudah, akankah ada yang duduk pada siang hari ? Apa tujuan
ditebangnya hampir seluruh pohon sampai dengan pohon yang berusia tua di
bangunan Cagar Budaya seperti Gedung Birao ? Apakah perlu dan apa urgensinya
perluasana jalan aspal tersebut, sampai-sampai mengurangi area RTH taman kota
(a.k.a. Taman Pancasila saat ini) ? Saya kira akan di paving, mungkin sebagai
bagian dari area yang dianggap sebagai ‘area cagar budaya’, ternyata justru diaspal.
Kenapa tidak mencoba memperkuat nilai dari sederetan bangunan cagar budaya di
kawasan tersebut, dengan tidak hanya mementingkan keindahan saja?
Comments
Post a Comment