ANTARA PANDEMI COVID-19 DAN PRIVATISASI RUANG DI KAWASAN PERKOTAAN
Yudha Kartana Putra
Ykpartners.con@gmail.com
Manusia hidup berdampingan satu sama lainnya melalui interaksi dan komunikasi. Berbagai ruang publik terbentuk agar pengguna dapat melakukan interaksi tersebut. Bahaya epidemi covid-19 atau corona berdampak pada menurunnya aktivitas di ruang publik. Seiring dengan meningkatnya orang yang terdampak virus dan meninggal dunia, baik di tingkat global maupun nasional menjadikan masing-masing daerah atau kota melakukan tindakan ketat bagi masyarakatnya.
Ruang dan aktivitas sangat erat hubungannya yang akhirnya tumbuh dengan fungsi bervariasi dan disesuaikan dengan kebutuhan. Carr, dkk (1992) mengungkapkan terdapat variasi tipologi ruang terbuka publik yaitu: (a) taman-taman publik (public parks); (b) lapangan dan plaza (squares and plaza); (c) pasar (markets); (d) jalan (streets); (e) lapangan bermain (playgrounds); (f) ruang terbuka untuk masyarakat (community open spaces); (g) jalan hijau dan jalan taman (greenways and parkways); (h) Atrium/pasar tertutup (atrium/indoor market place); (i) tepi laut (waterfronts).[1]
Beraktivitas di ruang publik selama pandemik corona memberikan dampak signifikan pada penelusuran rekam jejak mengenai siapa, kapan, dan dimana interaksi terjadi antara pengguna dan ruangnya. Hal ini justru mengaburkan keberadaan ruang publik yang seharusnya aman. Terdapat celah ketidakteraturan pengelolaan ruang yang berimbas pada ketidaksiapan tatanan perkotaan dan ruang publiknya. Pembauran yang besar dan terpusat akan berdampak pada kerentanan fungsi yang seharusnya dapat mempertemukan antar pengguna dan kebutuhannya selama di ruang publik.
Pada kondisi selama pandemi, beberapa kota mengalami kelumpuhan identitas dalam perubahan pengaturan ruang yang mendadak, tidak siap, dan tanpa koordinasi. Hal ini dapat dilihat dari ketidaknormalan tindakan pada ruang (space adjustment) dan pergerakan. Hal ini mempengaruhi kondisi yang tidak berimbang dilihat dari golongan masyarakat, ragam profesi, tingkat penghasilan, arah dan orientasi pergerakan, sampai dengan pemikiran tentang bagaimana ruang dapat ditransformasikan untuk mencegah dampak corona.
Apabila merujuk pada pembahasan mengenai krisis dalam desain kota dalam UrbanLife Manifesto (1987) dalam Purwanto (2004) yang mana mengindikasikan dan melibatkan: (1) buruknya kondisi kehidupan; (2) hilangnya kontrol warga kota terhadap perkembangan kota; (3) privatisasi yang tinggi sehingga menghilangkan kehidupan publik; (4) fragmentasi sentrifugal; (5) hilangnya makna ruang-ruang kota; (6) ketidakadilan; (7) profesionalisme yang tidak berakar pada kehidupan dan kebutuhan kota.[2] Pandemi corona ini mempengaruhi secara nyata hubungan sosial masyarakat yang juga berdampak pada tindakan interpretasi terhadap ruangnya.
Fungsi ruang publik sebagai media untuk beraktivitas menjadi tidak aman dan menimbulkan ketakutan. Berbeda dengan kelompok komunitas tertentu yang dapat bekerja di rumah. Pada golongan tertentu yang mengharuskannya berada di ruang publik, diberikan pilihan yaitu mampu melakukan pemetaan struktur ruang kota yang mana berpotensi berkerumun dan rentan penyebaran virus. Hal ini akan efektif dengan catatan pengguna mengenal karakter ruang dan aktivitas pada jangkauan pergerakannya.
Ruang publik di perkotaan akan hadir merespon kewaspadaan penggunanya selama pandemi corona. Kewaspadaan ini turut menjadikan beberapa ruang publik ikut terprivatisasi. Hal ini diikuti dengan berkurangnya intensitas aktivitas yang seharusnya dapat menghidupi ruang publik tersebut.
Keberadaan ruang menjadi atau dianggap tidak ikut menyebarkan bahkan berbahaya bagi masyarakat menjadi tidak menjanjikan. Seakan-akan ruang publik akan mengancam kesehatan penggunanya. Seberapa besar peluang motif pengguna dalam mengabaikan ancaman aktivitasnya di ruang publik? Bagaimana ruang publik yang terabaikan dapat kembali pulih pasca pandemi? Bagaimana seharusnya tata ruang perkotaan dapat membiasakan diri dengan perubahan yang siginifikan?
Tata ruang perkotaan sangat erat kaitannya dengan perubahan, setiap periode tertentu akan mewakili suatu gaya (urban lifestyle) yang berkembang pada masanya. Perkotaan tidak terlepas dari penyusunan sosio-spasial yang mendukung legitimasi kehidupan masyarakatnya dan memperkuat identitas suatu ruang tempat tinggalnya. Kota adalah manifesto bersejarah dan berlapis-lapis dari sebuah perubahan mental dan perkembangan teknik yang pragmatis.”(Althaus, 1993:29 : Zahnd, 1999: 239).[3]
Perkembangan ruang publik mengikuti arah pergerakan, ada yang menganggap keberadaan ruang publik bernilai aman karena suatu kebutuhan mendesak. Adapun yang menganggapnya berpotensi menyebarkan virus karena telah terfasilitasi? Lingkungan perkotaan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan yang heterogen dengan kepadatan penduduknya dan variasi strata ekonomi. Perkotaan dapat dikaitkan dengan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur fisik dan non-fisik yang terpusat.
Adanya pembatasan penggunaan ruang publik akan berdampak pada penurunan nilai ruang publik itu sendiri. Ruang publik yang seharusnya difungsikan untuk melayani aktivitas bertemu dan berinteraksi penggunanya menjadi terabaikan. Ketidakmampuan dalam mengakses siapa saja yang telah terinfeksi atau sekedar menjadi pembawa (carrier) berdampak pada munculnya efek dugaan atau kecurigaan, bahkan ada pula yang mengabaikan kondisi ini. Fungsi ruang publik seharusnya tidak membuat orang takut beraktivitas selama pandemi covid-19.
Kebutuhan bahan baku menjadi prioritas utama dalam menjalani aktivitas isolasi mandiri ‘di rumah saja’, akhirnya mengharuskan seseorang untuk berinteraksi dengan ruang publik. Dalam kondisi pandemi ini, mengharuskan mereka melakukan adaptasi secara cepat. Setidaknya mereka telah mengenal jangkauan dan area tersebut menjadi rutinitas untuk memenuhi kebutuhannya. Iskandar (2012:47) mengutarakan ada beberapa hal yang membedakan mekanisme adaptasi perilaku dan adjustment ruang, diantaranya: (a) adaptasi perilaku yang mengharuskan mengikuti kehendak lingkungan, dengan memberikan toleransi atau mengupayakan penyesuaian terhadap besaran perubahan lingkungan yang terjadi; (b) adjustment ruang melalui standarisasi yang sengaja dibuat, yang mana disesuaikan dengan kapasitas kemampuannya terhadap lingkungan binaan tersebut.[4]
Langkah membiasakan diri akan berbeda dengan merekayasa lingkungan agar sesuai dengan keinginan. Pada lingkungan perkotaan yang heterogen, banyak memuat keberagaman jenis pengguna dan motif tujuan dari aktivitas yang sengaja ditimbulkan pada konteks lingkungan tertentu. Tidak mudah pada kondisi yang heterogen untuk menyamakan motif, kondisi, dan kebutuhan masing-masing. Pandemi ini juga tidak dapat diabaikan, yang mana harus memaksakan setiap orang untuk segera menyesuaikan diri.
Perilaku untuk menyesuaikan dengan pola lingkungan, Averill (dalam Fisher, 1984) mengatakan bahwa ada beberapa tipe kontrol terhadap lingkungan yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan kontrol keputusan. Kontrol lingkungan mengarahkan perilaku untuk mengubah lingkungan, misalnya dalam penggunaan masker. Kontrol kognitif dengan mengandalkan pusat kendali di dalam diri, artinya mengubah interpretasi situasi yang mengancam menjadi situasi penuh tantangan. Kontrol keputusan memberikan kontrol alternatif pilihan yang ditawarkan. Semakin besar kontrol yang dapat dilakukan, akan lebih membantu keberhasilan adaptasi.[5]
Pengaktifan ruang publik di perkotaan sebagai akibat dari pemaknaan dari tindakan dan perilaku yang menunjuk pada keberadaan komunitas tertentu. Pemaknaan ruang publik harus dibarengi dengan munculnya kesadaran dan tingkat kepedulian. Sepatutnya masyarakat membutuhkan ruang publik yang aman dan sesuai dengan karakter yang berlaku di lingkungannya. Karakter ini didasarkan atas beragam latar belakang dan tingkat emosional masing-masing pengguna. Hal ini menunjuk pada istilah batasan (territory) dan kebiasaan (habit).
Pada skala perkotaan perlu adanya perancangan ‘ruang antara’ yang memuat kebutuhan dan perlindungan dasar pencegahan corona. Ruang antara ini berfungsi secara perlahan menstimulasi keberadaan ruang publik lain di sekitarnya yang aman melalui standarisasi pencegahan virus corona. Area ini sebaiknya bersifat terbuka, mudah diawasi, dan dapat dikontrol kapasitasnya. Di lain sisi, ruang publik yang bersifat komersil atau untuk memenuhi kebutuhan pangan harus dipersiapkan dengan standar yang berlaku. Masyarakat disarankan harus membuat catatan terlebih dahulu untuk kebutuhan yang akan dibelinya selama pandemi.
Pemetaan ruang terbuka publik dan aktivitasnya dari keberagaman masyarakat di suatu lingkungan harus dilakukan. Pemetaan ini diharapkan untuk kesiapan menghadapi kondisi yang tidak dapat diprediksi di lingkungan perkotaan dalam menghadapi situasi serupa atau bio disaster dan sejenisnya. Penanganan wabah corona atau covid-19 ini harus memprioritaskan golongan usia tua dan pihak yang memiliki riwayat penyakit kompleks, dengan menyarankan untuk tetap berada di rumah, mengingat golongan ini yang paling rentan. Perekayasaan lingkungan ditujukan saat ini untuk mengurangi kerumunan. Hal yang terpenting adalah tidak menutupi data dan tidak mengucilkan bagi seseorang yang terlanjur terkena covid-19 ini.
Keterlibatan dan tingkat kepedulian masyarakat khususnya di Jakarta pada ruang publik masih sangat rendah. Setiap ruang publik harus memperhitungkan keamanan dan sterilisasi. Setiap orang berpotensi mengabaikan prosedur keselamatan dari pandemi corona. Adapun kondisi yang juga terjadi diantaranya gap antara kaya dan miskin, antara masyarakat asli dan pendatang. Seharusnya kondisi ini tidak menjadi penghalang untuk saling membantu dalam menjaga lingkungan dengan tidak saling mencurigai. Komunikasi selama dan pasca pandemi perlu dibangun ulang di dalam komunitas tertentu secara cepat dan tidak membeda-bedakan. Pertahanan awal adalah dari keluar sampai ke lingkungan perumahan, langkah ini melalui mendata kembali anggota komunitas atau masyarakatnya, menelusuri siapa, kapan, dan darimana setelah melakukan perjalanan.
Pada kondisi tertentu, ruang publik dapat juga ditransformasikan menjadi area sterilisasi untuk menerima tamu disertai pengecekan kesehatan khusus. Pengklasifikasian ruang publik di perkotaan perlu segera dilakukan dengan penilaian tingkat potensi kerumunannya beserta arah pergerakan dan kapasaitasnya. Ditengah kepanikan pandemik ini justru akan sulit memprediksi pergerakan karena dipengaruhi secara psikologi dan kebutuhannya, apalagi dengan pembatasan sepihak yang dampaknya tidak secara merata dirasakan.
Kesiapan wilayah perkotaan dan sekitarnya dalam menghadapi kejadian tidak terduga harus dibarengi dengan strategi tata ruang, terutama aspek kebencanaan baik physical ataupun bio-disaster. Penyusunan setrategi ini harus memperhitungkan kecepatan dan teknik penanganan, bukan berorientasi pada persentase terkena dampak. Hal ini akan menarik minat perekayasaan teknologi dan lingkungan, dengan tetap memperhatikan karakter sosio-lanskap sekitar dan kebiasaannya. Perencanaan ruang publik tidak hanya pada estetika dan aspek ekonomi, tetapi juga lebih menitikberatkan nilai kepastian keamanan dan keselamatan.
[1] Carr, Stephen, Mark Francis, Leane G. Rivlin and Andrew M. Store. (1992). Public Space. Australia: Press Syndicate of University of Cambridge.
[2] Purwanto, Edi, 2004, Privatisasi Ruang Publik di Perkotaan, Proseding Makalah Simposium Nasional “Managing Conflicts in Public Spaces Through Urban Design, hal. 1-16.
[3] Zahnd, Markus. Perancangan Kota Terpadu, Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
[4] Iskandar, Zulrizka. 2012. Psikologi Lingkungan. Bandung: PT Refika Aditama.
[5] Fisher, A., Bell, P.A., & Baum, A., 1984. Environmental Psychology. New York: Holt, Rinehart, dan Wiston.
Comments
Post a Comment