Perencanaan “Space Recognition” pada Pengendalian Lanskap Kota Pasca Karantina Diri atas Respon Penyebaran Virus Corona Covid-19
Oleh Yudha K Putra
YK+Partners
Tulisan ini mencoba memuat pandangan cara berpikir dalam kondisi ekstrim yang memungkinkan pengendalian atas ruang terhadap tindakan yang memunculkan reaksi dengan ruang disekitarnya. Tulisan ini akan merekonstruksi dugaan dan kondisi realistis yang mungkin dapat terjadi selama pasca karantina diri dari penyebaran virus Corona Covid-19 pada suatu wilayah. Tulisan ini berusaha melahirkan diskusi yang dapat dilakukan oleh lintas profesi.
.
Space recognition diketahui sebagai pengenalan ruang yang mana melibatkan sensor yang menghasilkan rangsangan dan persepsi yang akan menghasilkan penilaian atas kualitas ruang tersebut. Pada kasus penyebaran virus Corona Covid-19 yang telah menyebar ke daerah-daerah menimbulkan penilaian atas pemahaman ruang terhadap kebijakan karantina diri. Perencanaan kota yang komprehensif dengan mengikuti ide dan orientasi ruang berdampak pada arah kebijakan penataan kota yang seharusnya siap dalam menghadapi bencana alam dan wabah (bio-disaster).
.
Munculnya keputusasaan dan keputusan atas pengaruh wabah Corona Covid-19 yang semakin meluas ke daerah-daerah, suatu wilayah diminta untuk mengeluarkan kebijakan pembatasan pergerakan baik bagi masyarakat di dalam wilayah maupun di sekitarnya. Kebijakan tersebut tentunya akan mempengaruhi keberadaan dan fungsi ruang serta berdampak pada eksistensi aktivitas dan pergerakannya. Keberadaan kota tentunya tidak selalu dikaitkan dengan isu ekonomi yang pada akhirnya terbentuk ruang-ruang komersil yang memberikan dampak untuk peningkatan APBD dan memberikan peluang investasi masuk ke daerah tersebut. Perlakuan pengelolaan penataan tata ruang itu sendiri pada akhirnya terungkap ketika terjadi bencana alam atau wabah. Hal ini menjadi penilaian penting dalam tingkat kesiapan sampai bahkan dinilai rentan. Penilaian ini seharusnya menjadi pokok perhatian yang dapat melahirkan kota-kota ”responsif bencana”. Arahan kebijakan tata ruang yang melibatkan suatu proses perencanaan dan perancangan lanskap wilayah, berdampak pada kesiapan dalam mengatur hubungan dan kebutuhan masyarakat dengan masing-masing ruangnya.
.
Respon atas terjadinya bencana pada suatu wilayah akan menciptakan beberapa fenomena, diantaranya: (1) memunculkan kepanikan, (2) membuka celah persepsi dari sisi sosial dan keruangan, (3) kesiapsediaan atas respon tanggap bencana, (4) ketidakpastian hubungan antar ruang, (5) konsentrasi terhadap pergerakan dan titik kumpul massa, (6) penutupan akses, (7) kecemasan dan ketidakpahaman kontak sosial, (8) kecurigaan terhadap keamanan lokal, dan lain sebagainya. Kepanikan menjadi dasar utama reaksi merespon adanya bencana, kemudian berkembang menjadi gejala-gejala yang mengakibatkan kesimpangsiuran terkait dengan hubungan sosial dan ruangnya. Kepanikan yang berlebih mengindikasikan ketidaksiapan ruang di dalam pengaturan dan pengelolaan tanggap bencana pada tata kelola ruang kota.
.
Perencanaan kebijakan pengaturan tata ruang kota dalam menghadapi wabah, mendadak akan menyebabkan menurunnya imunitas kota. Hal ini juga mempengaruhi tatanan pengendalian ruang dalam menghadapi kepanikan. Kepanikan merupakan suatu reaksi manusiawi untuk melahirkan suatu tindakan pencegahan atau justru akan keluar menghindarinya secara total. Terbukanya peluang kebijakan aturan karantina diri untuk kepentingan kota dan masyarakatnya, yang mana suatu keputusan ini justru melahirkan sudut pandang kepanikan yang berbeda dalam menyikapi perubahan ruang dan tempat/kejadian. Kota Tegal pada tanggal 30 Maret 2020, telah mengeluarkan kebijakan karantina wilayah/local lockdown/self-barrier. Kebijakan ini kemudian disikapi secara beragam oleh masyarakatnya, diantaranya: (1) berbading terbalik dengan ekspektasi justru menjadi area berkumpul di sekitar titik perbatasan dengan adanya pembatas beton, (2) kekhawatiran minimnya ketersediaan bahan pangan menjadikan adanya aktivitas mengumpul pada titik tertentu untuk memenuhi bahan pangan, dan (3) kekhawatiran aspek ekonomi karena pengurangan pergerakan pada aktivitas pasar/market/komersil/kantor. Ketiga respon ini dapat dimungkinkan secara jelas mempengaruhi ruang dan pergerakan yang mana akan berdampak pada keberadaan, posisi, fungsi, arah pergerakan, motif pergerakan, intensitas pergerakan, dan hubungan antar ruang dengan pergerakan tersebut.
.
Karantina diri suatu wilayah menjadikan adanya pembatasan pergerakan atau justru sebaliknya yaitu menciptakan gejala kepanikan yang berpengaruh ke ruang lainnya. Suatu kota akan dipaksa bertahan ditegah mewabahnya virus corona covid-19, seperti Kota Tegal dengan mencoba mengambil alih ruang. Pengalihan ruang ini justru akan mengakibatkan ruang di sekitarnya akan kehilangan ‘keberadaannya’. Mengambil alih ruang dimaksudkan terjadinya ketidakpastian posisi/keberadaan ruang/wilayah disekitarnya untuk merespon kejadian karantina wilayah ini. Keberadaan yang dimaksud akan mempengaruhi persepsi ruang ‘antara’ yang dilindungi atau mengarahkannya pada suatu kemungkinkan munculnya 2 kondisi, yaitu : (1) ruang/di luar zona karantina juga akan ikut mengkarantina diri atau (2) menjadikan ruangnya sebagai batasan zona terinfeksi yang mangarahkan pada kondisi zona di luar karantina termasuk zona yang dibiarkan terinfeksi dan lebih berpotensi terjadinya penularan. Keduanya akan melahirkan dampak secara psikologi, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya.
.
Munculnya 2 kemungkinan kondisi tersebut dapat benar-benar terjadi ataupun tidak akan terjadi sama sekali. Kondisi ini tergantung pada seberapa efektif dalam membangun komunikasi antar ruang. Kedua kondisi ini harus dicermati dampaknya atau bahkan berpotensi menciptakan zona infeksius baru yang tidak terduga. Hal ini dikarenakan tidak ada konsistensi dalam membangun pembatas (barrier) dan tidak segera menciptakan ‘zona steril’ diantara keduanya.
Aktifitas karantina yang mempengaruhi pembatasan gerak di suatu wilayah, apakah akan justru melahirkan kesadaran suatu masyarakat/komunitas baik yang terisolasi ataupun di luarnya menjadi lebih memahami ruang aktivitasnya? Pengambilan kebijakan pembatasan pergerakan, harus dimengerti baik dampak positif dan buruknya. Bukan pada seberapa besar efektif dapat melindungi, justru seberapa pahamkah ruang tersebut akan ‘bermutasi’ memunculkan ‘singgungan’ ruang baru yang justru lebih infeksius. Mutasi yang dimaksud ini berpengaruh pada arah pergerakan dan interaksi antar ruang dan komunitas yang tinggal di sekitarnya. Singgungan ini harus segera teridentifikasi, atau justru di awal harus segera diketahui atas pertimbangan kebijakan tersebut. Singgungan antar ruang ini nantinya akan mempengaruhi kepanikan yang signifikan, apabila wabah ini berkepanjangan.
.
Kesadaran masyarakat terhadap lingkup ruang tinggal dan radius aktivitas, tentunya berpengaruh pada segala aspek. Pengidentifikasi kesadaran pada penghuni yang tinggal ataupun seseorang yang biasanya melakukan aktivitas bergerak dari ke-/menuju, menjadi inti pengamatan selama berlangsungnya karantina wilayah. Pengamatan ini untuk melihat gejala antara penghuni yang tinggal diperbatasan dan seseorang yang bergerak karena memiliki kepentingan. Seberapa ketat kebijakan ini diberlakukan dan disepakati masyarakatnya, akan tetap berdampak pada pemenuhan pasokan pangan selama karantina dan aktivitas bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Tidak hanya mengisolasi diri di dalam rumah masing-masing dalam menghadapi wabah virus Corona Covid-19 ini, suatu wilayah/kota/kabupaten perlu mengadakan diskusi dengan tingkat keamanan yang disepakati untuk menghindari kelangkaan pasokan pangan dan perkembangan anggapan tentang ruang yang steril. Sepatutnya perlu direncanakan ruang ‘antara’ yang memungkinkan adanya pihak/kondisi tertentu yang akhirnya bergantung pada ruang disekitarnya.
.
Dalam kondisi wabah yang berkepanjangan, segalanya bisa terjadi dan berpotensi menghasikan kekacauan baik secara sosial dan keruangan. Dari segi keruangan tentunya akan memperbesar tingkat ketergantungan. Ketergntungan ini baik untuk mencapai suatu titik didasarkan atas keharusan pemenuhan kebutuhan/bekerja maupun kekhawatiran terhadap keamanan yang berakibat pada munculnya karantina sub-lokal baru di dalam lingkungan komunitas/kompleks/RT/RW ataupun pada skala ruas jalan tertentu.
Tatanan ruang yang terisolasi apakah akan melahirkan keamanan yang terjamin? Bagaimana dengan dampak kemungkinan penciptaan blok-blok sub karantina baru ruang baik secara sadar ataupun dengan sendirinya? Blok-blok ruang ini sebagai reaksi dari perilaku kepanikan dan ruang yang mempengaruhinya. Selama masyarakat mengikuti anjuran pemerintah dan pemerintah mampu dengan segera memenuhi kebutuhan masyarakatnya selama karantina, kondisi tersebut akan berada ditingkat ‘aman’. Suatu wilayah yang akhirnya mengambil keputusan karantina diri harus sudah mampu mempetakan titik sumber pangan, jenis pangan, tingkat kelangsungan pangan, faktor ketersediaan pangan, serta membantu masyarakatnya yang kurang mampu melalui pemberian insentif serta pemberian ruang interaksi yang dianggap ‘aman’.
.
Kebijakan ini harus mengikuti riwayat pola ruang dan pemetaan atas pergerakan masyarakatnya baik yang dinilai dominan sampai dengan jarang dikunjungi, misalnya pada kasus Kota Tegal dan sekitarnya. Kesadaran atas hubungan ruang/zona di dalam ruang (dalam konteks ruang kota) telah terjalin lama dan akan memiliki arti yang saling mempengaruhi, maka tidak seharusnya memutus rantai tersebut secara langsung. Hal ini akan berdampak ketidakstabilan pemenuhan kebutuhan baik yang berpengaruh pada aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat maupun berpengaruh pada keberdaan ruang/zona itu sendiri. Berarti ada fungsi yang dibatasi atau bahkan dihilangkan. Bahkan yang seharusnya pada kondisi sehari-harinya sebelum terjadi karantina wilayah, aktivitas masyarakat sangat bergantung pada akses tersebut. Hal ini justru mengundang ide yang akan berdampak pada pencarian alternatif akses. Apakah ini akan ada kemungkinan penginfeksian ruang lainnya baik diluar ataupun didalam zona karantina? Akibat dari pencarian akses alternatif tersebut harus segera dihentikan dan berbahaya bagi sekumpulan orang yang mendiami ruang tersebut. Bagaimana kompensasi dari kebijakan tersebut akan berpengaruh pada tatanan akses dan ruang di dalam kota dan disekitarnya?
.
Terkait dengan tingkat kepanikan yang terjadi, hal ini sebenarnya tergantung dari kesadaran masyarakat yang menghuninya (tinggal dan bergerak untuk bekerja) dan seberapa besar motif perjalanan yang sebelumnya telah terjadi pada hubungan ruang tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya. Keberadaan pergerakan dan akses, tentunya didahului dengan penentuan titik kerumunan/pusat aktivitas. Setiap titik aktivitas akan mempengaruhi aksi reaksi terhadap jenis aktivitas dan jarak/waktu tempuh. Kecenderungan masyarakat kita menginginkan jarak dan waktu tempuh terpendek.
.
Apabila prosesnya telah berjalan, maka tindakan yang mungkin seharusnya akan diambil yaitu : (1) identifikasi tingkat kesadaran dan tanggap wabah sehingga diarahkan akar lebih responsif, tetapi tidak berlihan dan tetap pada prosedur penanganan yang disepakati, (2) identifikasi jumlah kerumunan dan jenis aktivitas yang sengaja dibangun menciptakan ketahanan ruang yang rentan/chaos, (3) Mengadakan inspeksi ke akses yang memungkinkan adanya penerobosan tanpa sepengetahuan sekitarnya, (4) pemerintah harus serius mendata melalui koordinasi yang diwakilkan salah satu warga di suatu lokasi untuk merekam jejak bagi siapa saja yang telah bepergian dari luar kota untuk segera dilakukan uji tes, (5) Pemerintah melakukan prioritas penanganan ruang pada zona potensi infeksi tinggi sampai ke yang paling rendah.
.
Beberapa langkah yang seharusnya segera dilakukan pemegang kebijakan pada setiap wilayah/kabupaten/kota selama aktivitas karantina lokal (local lockdown), diantaranya : (a) Pemerintah harus lebih cepat dan segera membuat peta kebutuhan pangan/titik potensi berkumpul/lokasi bekerja masyarakatnya yang akurat untuk menghadapi kemungkinan terburuk; (b) menciptakan ruang-ruang ‘antara’ pada perbatasan dan pada setiap skala komunitas/kompleks warga, untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman hubungan antar ruang yang akan terjadi; (c) penataan dan perbaikan kualitas lingkungan di level rumah tangga/RW untuk menghindari kemungkinan masuknya penyakit lain, seperti DBD; (d) menstrategikan ruang terbuka/taman yang direncanakan agar memiliki persil-persil ruang berinteraksi dengan tetap mematuhi physical distancing; (e) merencanakan ruang isolasi di tingkat RT/RW/ sesuai kesepakatan masyarakat yang bermukim pada tempat tertentu, dapat berbentuk temporary shelter/ fasilitas umum yang diupgrade/rumah warga yang dialihfungsikan; (f) memberikan solusi ruang aktivitas yang sengaja dibuat dan disebar di beberapa titik untuk mengurangi kerumunan, misalnya memunculkan fungsi ruang pembelian sembako/pangan yang dapat diakses oleh 3 RT/1 RW dengan melakukan penjadwalan ketat (apabila terjadi pada kondisi yang semakin parah dan wabah berkepanjangan).
Comments
Post a Comment